Katakanlah ini kepada wanitamu,
dengan wajah yang se-sendu mungkin, seperti engkau baru keluar dari
kegalauan, dan memasuki keindahan meditasi di bawah sinar rembulan
Desember … Adinda, sejak aku mengenalmu, aku tak mampu memuji lagi.
Apa pun menjadi biasa dan wajar, karena kecantikanmu menjadikan apa pun pucat.
Aku seperti tak pernah menua, karena waktu membeku saat engkau
tersenyum, dan ombak menenang takut mengusik kemerduan sapamu kepadaku.
Bagiku kesempurnaan tak cukup menggambarkan dirimu.
Ndut … (kalau bentuk tubuhnya sesuai), ku tahu kau tak mungkin bisa
mengerti kedalaman cintaku kepadamu, tapi cukuplah kau pandangi
pemukaannya saja pada wajahku yang menghamba kepada kebahagiaanmu.
Engkau cintaku, aku cintamu.
Engkau hidupku, aku hidupmu.
Kita satu dan tak terpisahkan.
Aku akan menjadi laki-laki termulia dan terbahagia di alam ini, jika
engkau bersedia menerima permintaanku, agar engkau menjadi pendamping
kehidupanku, sebagai wanita kemuliaan hidupku, sebagai istriku, sebagai
ibu dari anak-anakku, dan sebagai pemelihara dari kebesaran nama
keluarga kita.
Aku mencintaimu dan tak mampu hidup tanpa cintamu.